Pertanyaan:
Assalamu’alaikum Wr. Wb.
Sebagai warga yang hidup dan berada di lingkungan yang mayoritas masih kental dengan nuansa tradisi-tradisi yang tidak sesuai dengan ajaran Islam, pada kesempatan ini saya ingin menanyakan yang ada kaitannya dengan hal-hal tersebut khususnya mengenai selamatan tahlilan orang yang meninggal.
Biasanya kalau ada warga yang meninggal, pada waktu selesai upacara pemakaman disampaikan kepada hadirin, bahwa ada tahlilan sampai dengan hari ke-7. Sedang untuk hari ke-7 dan ke-40 ada undangan tertulis untuk menghadiri selamatan tahlilan.
Pertanyaannya:
Bagaimanakah kita menyikapi hal tersebut, khususnya yang memakai undangan?
Jika kami datang untuk menghormati yang mengundang, apakah kami juga ikut membaca / mengikuti upacara tersebut ataukah cukup diam dan mendengarkan?
Apa yang harus kita lakukan bila ada salah satu keluarga yang meninggal, karena mengingat mayoritas lingkungan / kompleks masih kuat melaksanakan tradisi tahlilan tersebut?
Pertanyaan Dari:
Siswo S., Mojokerto, Jawa Timur
(disidangkan pada Jum’at, 19 Ramadan 1429 H / 19 September 2008 M)
Jawaban:
Pertanyaan tentang selamatan tahlilan orang yang meninggal sudah beberapa kali ditanyakan di Majalah Suara Muhammadiyah. Di antara jawaban yang diberikan telah dimuat dalam buku Tanya Jawab Agama II halaman 196 dan 197. Namun untuk menjawab ketiga pertanyaan di atas, perlu kami jelaskan sebagai berikut.
Tradisi selamatan 7 hari, 40 hari, 100 hari maupun 1000 hari untuk orang yang meninggal dunia, sesungguhnya merupakan tradisi agama Hindu dan tidak ada sumbernya dari ajaran Islam. Adapun tahlil, secara harfiah mengandung arti membaca kalimat la ilaha illallah atau mengingat Allah. Tahlil dalam konteks ini, tentu merupakan amalan utama yang sangat dianjurkan oleh al-Qur’an maupun as-Sunnah.
Adapun keberadaan tahlil orang yang meninggal dunia pada dasarnya tidak bisa dilepaskan dari tradisi tarekat. Tahlil memiliki fungsi yang sangat sentral bagi pengikut tarekat, sehingga terdapat gerak-gerak tertentu disertai pengaturan nafas untuk melafalkan bacaan tahlil sebagai bagian dari metode mendekatkan diri pada Allah. Berawal dari tradisi tarekat ini berkembanglah model-model tahlil atau tahlilan di kalangan umat Islam Indonesia. Di lingkungan Keraton terdapat tahlil rutin, yaitu tahlil yang diselenggarakan setiap malam Jum’at dan Selasa Legi; tahlil hajatan, yaitu tahlil yang diselenggarakan jika keraton mempunyai hajat-hajat tertentu seperti tahlil pada saat penobatan raja, labuhan, hajat perkawinan, kelahiran dan lainnya. Di masyarakat umum juga berkembang bentuk-bentuk tahlil dan salah satunya adalah tahlil untuk orang yang meninggal dunia.
Masalah tahlilan orang yang meninggal dunia merupakan masalah khilafiyah (terdapat perbedaan pendapat di kalangan para ulama). Di kalangan para pendukung gerakan Islam pembaharu (tajdid) yang berorientasi kepada pemurnian ajaran Islam, seperti Muhammadiyah, sepakat memandang tahlilan orang yang meninggal dunia sebagai bidah yang harus ditinggalkan karena tidak ada tuntunannya dari Rasulullah. Adapun para pendukung gerakan Islam tradisional maupun gerakan tarekat, cenderung membolehkan dan bahkan menganjurkan tahlilan bagi orang yang meninggal dunia.
Esensi pokok tahlilan orang yang meninggal dunia sebagai perbuatan bidah bukan terletak pada membaca kalimat la ilaha illallah, melainkan pada hal pokok yang menyertai tahlil, yaitu ; (1). Mengirimkan bacaan ayat-ayat al-Qur’an kepada jenazah atau hadiah pahala kepada orang yang meninggal, (2). Bacaan tahlil yang memakai pola tertentu dan dikaitkan dengan peristiwa tertentu.
Terdapat beberapa argumentasi untuk menolak praktik tahlilan. Pertama, bahwa mengirim hadiah pahala untuk orang yang sudah meninggal dunia tidak ada tuntunannya dari ayat-ayat al-Qur’an maupun hadis Rasul. Ketika tidak ada tuntunannya, maka yang harus dipegangi adalah sabda Rasulullah yang berbunyi :
عَنْ عَائِشَةَ أَنَّ رَسُوْلَ اللّٰهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ. [رواه مسلم وأحمد]
Dari Aisyah (diriwayatkan) bahwa Rasulullah saw bersabda: Barangsiapa yang mengerjakan suatu perbuatan (agama) yang tidak ada perintahku untuk melakukannya, maka perbuatan itu tertolak.” [HR. Muslim dan Ahmad]
Bahkan hadis Rasul menegaskan:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُوْلَ اللّٰهِ صَلَّى اللّٰه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِذَا مَاتَ اْلإِنْسَانُ انْقَطَعَ عَنْهُ عَمَلُهُ إِلاَّ مِنْ ثَلاَثَةٍ إِلاَّ مِنْ صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ أَوْ عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ أَوْ وَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو لَهُ. [رواه مسلم]
Dari Abu Hurairah (diriwatkan), bahwasanya Rasulullah saw bersabda: Apabila manusia telah mati, maka putuslah segala amalnya kecuali tiga perkara: sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat baginya, dan anak saleh yang mendoakannya.” [HR. Muslim]
Kedua, terdapat ayat-ayat al-Qur’an yang menegaskan bahwa manusia hanya akan mendapatkan apa yang telah dikerjakannya sendiri. Dengan demikian masalah hadiah pahala jelas bukan merupakan suatu tuntunan yang perlu dilaksanakan. Adapun ayat-ayat tersebut adalah :
1. Di dalam surat an-Najm (53): 39 Allah SWT berfirman:
وَأَنْ لَيْسَ لِلْإِنْسَانِ إِلاَّ مَا سَعَى. [النجم (53): 39]
Dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya. [QS. an-Najm (53): 39]
2. Surat ath-Thur (52): 21 menegaskan:
وَمَا أَلَتْنَاهُمْ مِنْ عَمَلِهِمْ مِنْ شَيْءٍ كُلُّ امْرِئٍ بِمَا كَسَبَ رَهِينٌ. [الطور (52): 21]
Kami tidak mengurangi sedikit pun pahala amal (kebajikan) mereka. Setiap orang terikat dengan apa yang dikerjakannya. [QS. ath-Thur (52): 21]
3. Surat al-Baqarah (2): 286 menegaskan:
لاَ يُكَلِّفُ اللّٰه نَفْسًا إِلاَّ وُسْعَهَا لَهَا مَا كَسَبَتْ وَعَلَيْهَا مَا اكْتَسَبَتْ. [البقرة (2): 286]
Allah tidak membebani seseorang, kecuali menurut kesanggupannya. Baginya ada sesuatu (pahala) dari (kebajikan) yang diusahakannya dan terhadapnya ada (pula) sesuatu (siksa) atas (kejahatan) yang diperbuatnya [QS. al-Baqarah (2): 286]
4. Surat al-An’am (6): 164 menegaskan:
وَلاَ تَكْسِبُ كُلُّ نَفْسٍ إِلاَّ عَلَيْهَا وَلاَ تَزِرُ وَازِرَةٌ وِزْرَ أُخْرَى. [الأنعام (6): 164]
Setiap orang yang berbuat dosa, dirinya sendirilah yang akan bertanggung jawab. Seseorang tidak akan memikul beban dosa orang lain [QS. al-An’am (6): 164]
Terhadap pertanyaan bapak yang pertama, tentang bagaimana menyikapi undangan tahlilan kematian, maka bisa saja bapak minta ijin untuk tidak ikut tahlilan dengan alasan paham agama bapak tidak membolehkan tahlilan untuk kematian. Secara organisatoris, sikap ini merupakan sikap yang paling ideal, yaitu tunduk pada paham agama yang diyakini oleh Muhammadiyah. Jika hal di atas tidak mungkin dilakukan dan harus menghadiri tahlilan untuk menghormati yang mengundang (menjawab pertanyaan kedua), maka hendaklah bapak bersikap pasif. Terhadap pertanyaan ketiga, ketika mayoritas lingkungan masyarakat masih kuat melaksanakan tradisi tahlilan, maka kedua sikap di atas bisa dipilih. Tentu bapak lebih tahu tentang kondisi lingkungan di mana bapak berdomisili.
Wallahu a’lam bish-shawab.
Sumber: Majalah Suara Muhammadiyah No. 22, 2008.
https://fatwatarjih.or.id/menyikapi-undangan-tahlilan/