Akhir-akhir ini, wakaf menjadi trending topik semua
lembaga philantropi Islam. Wakaf tidak hanya menjadi obyek kajian akademik dan
tema-tema seminar, diskusi dan ceramah-ceramah agama. Lebih dari itu, wakaf
bahkan masif dipraktikkan oleh lembaga-lembaga wakaf, organisasi Islam,
yayasan-yayasan sosial, perguruan tinggi, dan institusi-intitusi kecil,
menengah dan besar, lokal, nasional, regional bahkan global. Wakaf yang sejak
awal sejarahnya dipraktikkan secara produktif oleh Rasulullah SAW dan para
sahabat seperti Umar, Usman, Abu Tholhah dan para pengikutnya, kini mendapat
perhatian sangat besar dari semua kalangan masyarakat. Tidak terkecuali di
Indonesia, wakaf telah lama diatur oleh negara dan memiliki UU tersendiri,
yaitu UU Nomor 41 tahun 2004 tentang wakaf, dan Peraturan Pemerintah no 42
tahun 2006 tentang wakaf. Artinya bangsa Indonesia secara yuridis formal
mengakui wakaf sebagai sebuah potensi dan asset umat yang amat sangat penting
untuk dikelola secara profesional.
Keseriusan
itu ditunjukkan dengan didirikannya Badan Wakaf Indonesia (BWI) yang secara
khusus melakukan pembinaan terhadap nazhir dalam mengelola dan mengembangkan
harta benda wakaf, melakukan pengelolaan dan pengembangan harta benda wakaf
berskala nasional dan internasional, memberikan persetujuan dan atau izin atas
perubahan peruntukan dan status harta benda wakaf, memberhentikan dan mengganti
nazhir. BWI yang didirikan pada tanggal 13 Juli 2007 adalah Lembaga Negara yang
independent dan dibentuk berdasarkan UU NO 41 tahun 2004 memiliki misi utama
mengembangkan dan memajukan perwakafan di Indonesia.
Jauh sebelum Indonesia Merdeka, sebelum BWI ada,
Persyarikatan Muhammadiyah yang didirikan oleh KHA Dahlan telah mempraktikkan
wakaf produktif seperti yang dicontohkan oleh Nabi Muhammad SAW dan para
sahabat. Kiai Dahlan mendirikan sekolah-sekolah Muhammadiyah dan menggaji para
gurunya dari wakaf produktif yang diberikan oleh para pedagang. Kiai Dahlan
sendiri merupakan contoh terbaik praktik wakaf produktif ini. Ia pernah
melelang harta benda miliknya yang hasilnya digunakan untuk mendirikan sekolah
Muhammadiyah. Ia memukul kentongan berkali-kali untuk mengumpulkan para
pedagang Muhammadiyah dan diajak berwakaf. Alhasil, ajaran wakaf Kiai Dahlan
ini kini terlembaga dalam Majelis Wakaf Muhammadiyah. Dalam sejarahnya majelis
wakaf ini mengalami pasang-surut dan berganti nama dari muktamar ke muktamar.
Sejak Muktamar ke 48 di Surakarta, Majelis Wakaf resmi berganti nama menjadi
Majelis Pendayagunaan Wakaf (MPW).
Nama
baru ini semestinya diikuti dengan semangat baru, artinya asset wakaf tidak
boleh lagi ada yang “mangkrak” alias “idle”. Asset wakaf harus produktif,
memberi manfaat untuk peningkatan kualitas pendidikan, kesehatan dan
pemberdayaan ekonomi umat. Oleh karena itu diperlukan konsolidasi wilayah
Majelis Pendayagunaan Wakaf (MPW) dalam bentuk Rapat Kerja Wilayah (Rakerwil)
yang dihadiri oleh perwakilan setiap daerah. Harapannya, kegiatan Rakerwil
beserta dengan rangkaiannya yang akan digelar nanti dapat mewujudkan
pendayagunaan wakaf di Muhammadiyah dalam arti semua asset wakaf dapat
dipetakan dan mendatangkan manfaat dan hasil yang lebih besar.
Selamat
dan Sukses Rapat Kerja Wilayah (Rakerwil) Majelis Pendayagunaan Wakaf Pimpinan
Wilayah Muhammadiyah D.I. Yogyakarta
“Paradigma
Baru Wakaf di Muhammadiyah”
Sabtu,
02 Desember 2023
di
Kampus 1 Universitas Ahmad Dahlan
Jl.
Kapas No. 9, Semaki, Umbulharjo, Kota Yogyakarta, Daerah Istimewa Yogyakarta
55166
(ib)